We just an ordinary one, from Faculty of Nursing - University of Padjadjaran that want to present our best in making this blog...
Our mission is to introduce Psychiatric Nursing as a part of Nursing Care and it's relation to human needs besides that we want to share information about the evolution and development of Psychiatric Nursing as a knowledge...
Crew Serpihan Jiwa Kelompok 4 FIK UNPAD:
1. IMMA WARDHANI (N1O050005)
3. APRIANI PURNAMA (N1O050032)
4. SRI HENDRAWATI (N1O050048)
5. DEBORAH SIREGAR (N1O050062)
6. GILANG ANGGITA (N1O050065)
7. YULIANTI (N1O050076)
8. YANE MELISIA L. (N1O050087)
9. RENGGANI GITA (N1O050092)
10. DEDEN BUDIMAN (N1O050097)
11. RIZKI FERDIANI P. (N1O050104)
Senin, 15 Desember 2008
Kamis, 11 Desember 2008
Sejarah Kegilaan dan Konstruksi Kebenaran
Pernyataan para pengkritik Nash ini, bahkan juga penulis biografinya (yang tampak membelanya) adalah contoh gambaran nyata tentang citra negatif dan perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap orang yang mengalami schizophrenia, yang malahan disebut oleh penulis biografi Nash sebagai sakit jiwa. Bukan hanya itu, perilaku homoseksual dianggap sebagai praktek yang menyimpang dan abnormal sehingga perlu dikenai sanksi sosial, atau setidaknya disembuhkan.
Nasib orang gila dalam keseharian
Dalam kehidupan sehari-hari kisah-kisah lain tentang orang-orang gila, orang yang mengalami masalah kejiwaan atau kelainan mental seperti penderita psikosis, schizophrenia, stress, depresi, dan sebagainya seringkali mengalami nasib yang jauh mengenaskan. Gejala-gejala seperti ini dipandang sebagai penyakit yang secara medis perlu disembuhkan. Masih beruntung bagi seorang Nash. Orang-orang yang selama ini dibilang gila dan tidak waras oleh masyarakat berkeliaran di pinggiran jalan dan menjadi obyek cemoohan. Mereka berada dalam kondisi yang benar-benar menyedihkan.
Orang-orang gila ini seringkali dikonsepsikan sebagai mereka yang menyimpang dari mayoritas masyarakat. Mereka dianggap defiant dalam kategori abnormal. Terhadap mereka, masyarakat menghardiknya sementara pemerintah pun menyingkirkannya, setidaknya mengasingkannya secara tidak manusiawi. Di Jakarta dan di kota-kota metropolitan pada umumnya, mereka dianggap sebagai sampah yang mengganggu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Tidak jarang kita jumpai aparat Trantib pemerintah daerah setempat menggaruk mereka tanpa rasa prikemanusiaan sedikitpun.
Perlakuan terhadap orang gila yang semena-mena ini biasanya ditentukan oleh persepsi dan konsepsi masyarakat atau pemerintah terhadap kegilaan. Oleh karena itu sebuah konsepsi yang keliru tentang kegilaan pasti akan membuahkan penanganan yang keliru pula. Dan pada gilirannya cara penanganan yang salah ini akan menyebabkan orang yang mengalami kegilaan sendiri malah bertambah menderita, bukannya dipulihkan.
Nah, dalam paparan ini saya ingin menunjukkan bahwa dalam sejarahnya konsep kegilaan telah dipahami secara berbeda-beda oleh masyarakat. Setiap masa dan periode memiliki konsep tersendiri mengenai kegilaan dan bagaimana ia harus ditangani, serta bagaimana dampak penanganan itu bagi penderita sendiri. Paparan ini sekaligus memperlihatkan bahwa konsep kegilaan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis adalah fenomena baru dalam dunia modern sekarang ini. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat-aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme.
Dalam hal ini tidak bisa tidak kita berhutang jasa pada Michel Foucault yang berhasil menggali bukti sejarah melalui serangkaian penelitiannya tentang sejarah kegilaan di Eropa.
Konsep kegilaan dalam lembaran sejarah: Orang Gila dan Penyakit Lepra
Pada abad Tengah, sebelum abad ke-15, di Eropa orang-orang gila dihubungkan dengan terjadinya penghilangan dan pengeksklusian terhadap para penderita lepra dari masyarakat umum, dan mereka ditempatkan pada rumah-rumah sakit terpisah. Di seluruh daerah kekristenan ternyata jumlah rumah sakitnya mencapai 19.000 buah. Sekitar tahun 1226 ketika Louis VIII membuat undang-undang rumah sakit lepra bagi Perancis, lebih dari 2000 kantor pendaftaran muncul. Di keuskupan Paris sendiri terdapat 43 kantor. Dua kantor paling besar sekitar Paris adalah Saint-Germain dan Saint-Lazare. Sementara itu pada abad ke-12, Inggris dan Skotlandia memiliki sedikitnya 220 rumah sakit bagi setengah juta penduduknya.
Lalu memasuki abad ke-15 semua rumah sakit itu perlahan-lahan mulai kosong. Dengan mulai menghilangnya penyakit lepra ini di Eropa, masyarakat menyelenggarakan pesta sukacita dan syukuran yang sangat meriah. Namun sesuatu telah berubah. Ada fenomena baru yang muncul seiring dengan menghilangnya lepra. Pada abad berikutnya kantor Saint-Germain di Paris bergeser menjadi tempat untuk mereformasi anak-anak nakal. Sementara itu di Inggris institusi-institusi rumah sakit itu digunakan untuk menangani orang-orang miskin. Adapun di Stuttgart Jerman, sebuah laporan pengadilan tahun 1589 mengindikasikan bahwa selama lima puluh tahun tidak ada lagi penderita lepra di rumah-rumah sakit. Tapi di Lipplingen, rumah sakit lepra berubah dipakai untuk menampung orang-orang yang tidak bisa disembuhkan dan orang-orang gila.
Pada awal abad ke-17, lepra benar-benar lenyap dari daratan Eropa. Meski demikian ada hal yang masih tersisa yang menarik dari hilangnya lepra ini dan terus berlanjut ke periode berikutnya. Yakni suatu struktur yang tetap tinggal dalam imaji-imaji masyarakat yang dilekatkan pada ciri penderita lepra, yakni struktur pengucilan atau eksklusi itu sendiri. Mengapa struktur ini masih bertahan meski penderita lepra telah tiada?.
Berlanjutnya “tradisi” pengucilan ini sebenarnya bisa ditemukan akarnya pada kosmologi gereja Abad Pertengahan yang mengenal konsep penyerahan diri sebagai kunci penyelamatan. Penyakit merupakan tanda kemarahan sekaligus anugerah Tuhan. Menerima dengan sabar segala penderitaan serta menerima konsekuensi pengucilan akibat penyakitnya memiliki makna sebentuk komuni kepada Allah. Pandangan semacam inilah yang ikut memungkinkan struktur pengucilan itu terus terjadi dan “direproduksi” bersamaan dengan kepercayaan reintegrasi spiritual Gereja. Dengan demikian sebenarnya hilangnya penderita lepra ini telah menyebabkan kekosongan obyek pemberlakuan hukum moral dalam spiritual Gereja. Sehingga konsekuensinya nilai-nilai moral yang semula dikenakan kepada penderita lepra yang kini telah lenyap harus mendapatkan kambing hitam lainnya. Pertanyaannya siapa kambing hitamnya? Mari kita ikuti kisah orang gila pada abad berikutnya.
Orang Gila dan Parodi Kritik Sosial
Memasuki periode renaisans, kisah tentang orang-orang gila mulai beragam. Dalam beberapa karya sastra klasik digambarkan mengenai orang-orang gila yang yang dinavigasikan dalam kapal di lautan. Namun gambaran kapal-kapal itu bersifat romantik dan satiris yang secara simbolis membawa orang-orang gila ke pulau keberuntungan dan kebenaran mereka. Di antara karya-karya ini adalah Symphorien Champier yang memadukan Ship of Princes and Battles of Nability pada tahun 1502 dengan Ship of Virtous Ladies tahun 1503.
Adapun dalam Narranschiff, orang-orang gila itu bebas berlayar dari kota ke kota. Mereka berlayar dengan mudah dan diijinkan mengembara di daerah terbuka. Pada masa renaisance ini, orang-orang gila diperlakukan secara baik, dirawat sedemikian rupa di tengah-tengan warga kota, seperti di Jerman. Selain itu bahtera-bahtera ziarah dan kargo-kargo menjadi perlambang orang-orang gila yang tengah mencari rasionya.
Dalam karya sastra, semisal Praise of Folly karangan Erasmus, dan The Cure of Madnes dan Ship of Fools karangan Hieronymus Bosch, kegilaan sering dimainkan sebagai parodi atau satire dalam pertunjukan drama-drama. Justeru mereka yang dilekati status gila adalah mereka yang dengan keanehannya membawa kabar kebenaran dan pesan kebijaksanaan. Foucault menyebutnya orang-orang yang dikaruniai hikmat. Orang gila, orang bodoh atau orang tolol inilah yang justeru memiliki eksistensi penting sebagai penjaga moral dan kebenaran. Dalam spontanitas parodi, mereka melontarkan kritisisme sosial dan moral. Mereka menjungkirbalikkan norma-norma, asumsi-asumsi, dan pandangan-pandangan umum yang dianut masyarakat. Orang gila macam ini dibiarkan berkeliaran. Ia menjadi lambang/simbol kebijaksanaan, atau semacam Kebodohan yang melawan dan berdialog dengan supremasi kepintaran rasio.
Orang Gila dan Hospital Generale
Seiring bergulirnya waktu, makna positif kegilaan era renaisans yang menandai dialog kritis antara “kebodohan” dan rasio ini pelan-pelan lenyap. Tema-tema kapal kegilaan berakhir dan muncullah tema “Rumah Sakit Jiwa”.
Di Paris, Hopital Generale ini sama sekali tidak terkait dengan dengan suatu konsep medis tertentu untuk merawat orang-orang gila, melainkan kekuasaan. Kenyataan ini ditunjukkan dari peristiwa pembubaran Pusat Yayasan Sosial Gereja Seluruh Negara (Grand Almonry of the Realm) yang bertugas memberi bantuan sosial dan kesejahteraan kepada masyarakat oleh penguasa raja.. Dengan penghapusan ini diharapkan pemerintah akan lebih leluasa menerapkan proses pengurungan tanpa intervensi hukum dari lembaga-lembaga lain. Dengan demikian sesungguhnya Hospital Generale tidak lain merupakan instansi aturan dari tatanan monakhial dan borjuis belaka yang dijalankan di Perancis selama periode tersebut.
Adapun di Jerman, rumah-rumah pengoreksian atau Zuchthausern, semacam Hospital Generale didirikan
Di Inggris, asal-usul pengurungan ini diperoleh dengan penemuan akta pada tahun 1575 yang berisi “hukuman atas para gelandangan dan pembebasan orang-orang miskin”. Rumah-rumah pengoreksian dibangun mencapai angka satu rumah setiap desanya. “Akta proyek” ini telah menempatkan para pengangguran, gelandangan, dan orang-orang miskin ke dalam rumah-rumah pengoreksian. Mereka dikurung dan dipekerjakan di dalamnya. Yang paling mengerikan mereka berada di bawah tanggungan pribadi-pribadi sehingga sering diperlakukan sewenang-wenang.
Sebuah akta tahun 1670
Perlu ditekankan di sini, bahwa pada abad tersebut masyarakat industri yang menekankan sebesar-besarnya produksi mulai terbentuk di Eropa. Karenanya lalu kriteria kegilaan pun ditujukan bagi mereka yang tidak mampu bekerja, para peminta, orang-orang malas, atau mereka yang tidak lagi produktif.
Tampak kemudian apa yang disebut sebagai Hospital Generale ini adalah tempat pengurungan bagi orang-orang yang dianggap abnormal, gila, dan menyimpang. Mereka adalah pengangguran, pengemis, pemalas, orang-orang cacat, juga orang yang tidak waras dan tidak mampu bekerja. Di dalam Hospital Generale ini lalu mereka ditempatkan untuk diberikan pekerjaan oleh penguasa.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa fungsi Hospital Generale adalah alat koreksi belaka terhadap status kegilaan seseorang; yakni mencegah kesemrawutan tatanan dari orang-orang malas, pengemis dan pengangguran, yang notabene dianggap sebagai dimensi kebinatangan manusia. Atas nama “kewajiban moral” ini penguasa melakukan serangkaian praktek pendisiplinan dan represi fisik terhadap orang-orang gila. Mereka diikat dengan rantai, dipukuli, berada dalam pasungan, digantung, dan dtempatkan dalam penjara-penjara untuk mentaati kerja.
Peristiwa ini bisa dihubungkan dengan pengkambinghitaman atas hilangnya subyek moral setelah penyakit lepra di daratan Eropa menghilang.
Orang Gila dan Disiplin Psikiatri
Memasuki abad 19, orang-orang gila dikelompokkan dan dikategorisasikan ke dalam mereka yang mengalami gangguan mental, stres, neurosis, melankolis, atau schizoprenia dimasukkan dalam rumah-rumah sakit jiwa. Mereka menjalani proses “penyembuhan”. Mereka tidak lagi mengalami represi fisik (diikat pada rantai atau dicambuk seperti seabad sebelumnya), juga mereka tidak menjadi tanggung jawab masyarakat bersama, melainkan kegilaan itu ditangani oleh seorang dokter, seorang terapist atau seorang psikiater untuk disembuhkan bak suatu penyakit.
Bagaimana mekanismenya?
Di sini tentu saja sang terapis-lah (dokter) yang menentukan disposisi gila dan tidak, rasional atau tidak rasional. Dan perlahan-lahan cara-cara, aturan-aturan, dan pengetahuan terapi ini diinstitusionalisasikan dalam suatu disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini sebagai disiplin ilmu psikiatri, berikut teknik psikoanalisisnya.
Penilaian kegilaan ini dilakukan secara terus menerus! Apa yang dilakukan oleh tokoh medis ini dalam teknik psikiatrinya bukanlah diagnosa obyektif dan ketat atas kegilaan itu sendiri, melainkan mengobservasi dan mempercakapkan kegilaan itu sendiri pada penderitanya. Tokoh medis itu mengorek sumber-sumber kegilaan, mengungkap kesalahan-kesalahan tersembunyi, dan biasanya berusaha menghadirkan rasionalitas menggantikan unsur-unsur atau perasaan irasionalitas penyebab kegilaan. Dokter, melalui otoritas keilmuannya, mengontrol, mengawasi, dan menentukan kehendak, moralitas dan makna keteraturan atau kewarasan dalam diri pasien.
Dengan demikian pada jaman modern ada tiga institusi yang saling terkait dan dianggap paling berhak menghakimi status kegilaan seseorang.
Kesimpulan: Sensitifitas terhadap kuasa/pengetahuan
Dalam terang hasil penelitian Michel Foucault mengenai sejarah kegilaan di atas, sekarang kita bisa pahami bagaimana sebuah kegilaan telah dikonsepsikan dan ditangani secara berbeda-beda dalam setiap periode sejarah tertentu. Ada pergeseran-pergeseran tentang makna kegilaan berikut posisi orang-orang gila dalam masyarakat. Di situ pula ditunjukkan kekuasaan macam apa yang mengklaim punya hak menentukan kategori-kategori kegilaan dan cara penanganannya.
Kini disiplin psikiatri sangat sentral dalam penanganan masalah kelainan mental atau kegilaan ini. Dengan mudahnya kegilaan dipersepsi sebagai penyakit yang mesti disembuhkan secara medis. Lihatlah misalnya laporan Scientific American 1999. Dengan mengutip hasil penelitian W.W. Eaton, laporan ini menyatakan bahwa pada tahun 1985 terdapat sekitar 1 % penduduk dunia yang berumur antara 15 hingga 30 tahun mengidap penyakit Schizoperenia. Angka tersebut akan terus membesar karena hingga kini belum ditemukan metoda penyembuhan dan obat penyembuh yang manjur dan meyakinkan. Lalu laporan itupun mengajukan tiga pendekatan untuk mengenali gejala penyakit jiwa ini.
Dari laporan tersebut setidaknya secara implisit menunjukkan bahwa penanganan medis terhadap gejala kegilaan atau sakit mental tidaklah berhasil. Bisa jadi (atau malahan mungkin bisa dipastikan), ketidakberhasilan ini akibat salah diagnosa terhadap gejala kegilaan. Ia dianggap sebuah penyakit. Padahal bisa jadi gejala-gejala yang ahli medis anggap sebagai sakit jiwa, kelainan mental, atau kegilaan tersebut adalah produk atau pengaruh dari sistem sosial kita yang sebenarnya fasis dan tidak memberi ruang sejengkalpun pada manusia untuk membangun proyek imajinasinya. Bisa jadi mereka adalah jiwa-jiwa yang kosong yang meratap dan mengalami histeria ketakutan oleh situasi masyarakat dan sistem sosial kita yang telah sakit parah. Sayangnya orang-orang yang mengaku sehat (padahal sebenarnya sakit ini) malahan menghakimi mereka sebagai penderita penyakit jiwa.
Sejarah kegilaan dan bagaimana ia ditangani secara berbeda-beda di atas memberi pelajaran mengenai kejatuhan kita dalam berbagai asumsi naif. Asumsi-asumsi yang berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Karenanya, kita seyogyanya perlu curiga terhadap asumsi-asumsi itu dan kekuasaan (kuasa pengetahuan, kuasa institusi, kuasa otoritas tertentu) di baliknya. Ini artinya, kita dituntut memiliki sensitifitas dan kepekaan dalam melihat kenyataan: apakah suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan emansipatoris atau, sebaliknya, justeru melakukan dehumanisasi?
Jelasnya, kita patut mempertanyakan jangan-jangan persepsi dan cara kita memperlakukan orang gila, tidak waras, gangguan mental, dan sebagainya selama ini adalah konstruksi belaka dari sebuah “rezim kebenaran” yang diciptakan oleh para ahli medis dan disiplin ilmu psikiatri yang sekarang ini giat diintrodusir melalui sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Jika benar demikian, maka tibalah kita pada kesimpulan hipotetis, bahwa pengetahuan dan tindakan kita sepenuhnya dikendalikan rezim kekuasaan/pengetahuan yang fasis dan yang tak henti-hentinya mencengkeram kehidupan kita.
Studi Kasus
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka semakin tinggi tingkat persaingan hidup, ditandai dengan banyaknya pengangguran, tersisihnya kaum yang lemah secara ekonomi dan pendidikan, penggusuran, krisis ekonomi serta masalah penyimpangan sosial lainnya. Hal ini berdampak pada peningkatan angka penderita gangguan jiwa. Selama ratusan tahun sejarah bangsa Indonesia bergulir, mulai zaman kolonial Hindia Belanda yang menerapkan Custodial Care sampai zaman reformasi. Hal ini memberikan dampak pada perjalanan keperawatan jiwa di Indonesia. Dalam memasuki abad 20 ini, pandangan dunia dan Indonesia terhadap keperawatan jiwa sudah berubah. Pada saat ini telah dikembangkan konsep Publich Health, Envolving Process Specialization, dan Deinstitusionalisasi.
Pertanyaan Diskusi
1. Jumlah penduduk Indonesia 120 juta jiwa, 2% nya diprediksikan mengalami gangguan jiwa berat, bila 50% nya harus di rawat, berapa tempat tidur yang dibutuhkan?
2. Jelaskan tindakan yang dilakukan pada klien gangguan jiwa pada zaman dulu bila klien tersebut dianggap membahayakan atau tidak membahayakan?
3. Dimana rumah sakit jiwa pertama yang dibangun pada zaman kolonial, dan apa latar belakangnya?
4. Pemerintah Hindia Belanda mengenal 4 macam perawatan klien psikiatrik, jelaskan jenis-jenisnya, tempat mana yang dikepalai seorang perawat?
5. Mengapa Custodial Care yang dahulu dianut sekarang ditinggalkan?
6. Bagaimana perkembangan usaha kesehatan jiwa antara tahun 1947 – 1975 di Indonesia?
7. Apa perbedaan pandangan dan perlakuan dunia terhadap klien gangguan jiwa pada awal sejarah, abad pertengahan, dan abad 20?
8. Apa pengaruh perubahan pelayanan public health service terhadap keperawatan jiwa?
9. Mengapa daat ini keperawatan jiwa lebih berfokus pada preventif dibanding kuratif?
10. Apa yang dimaksud deinstitusionalisasi dan spesialisasi dalam keperawatan jiwa masa kini?
Sumber: Studi Kasus dari Bagian Keperawatan Jiwa FIK UNPAD
Rabu, 10 Desember 2008
GILANG 'N FRIEND SHOW
Pengambilan foto dan video bersama orang gila ini mengambil lokasi di alun-alun kota Sumedang tepatnya di halte angkutan umum sebelah timur alun-alun atau di depan lembaga pemasyarakatan (LP) di Sumedang. Pengambilan dilakukan hari Sabtu, 6 Desember 2008 pada pukul 10.30 WIB.
Dalam proses pengambilan foto dan video tersebut dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama yaitu pengkajian untuk memastikan target orang gila atau bukan. Tahap kedua yaitu pendekatan kepada target agar orang gila tersebut mau berespon terhadap perkataan maupun tingkah laku pengamat. Dan yang ketiga yaitu penelusuran kepada orang gila untuk dengan cara ngobrol dan mendengarkan perkataannya untuk mengidentifikasi gangguan-gangguan yang merupakan ciri dari orang gila.
Penampilan fisik orang gila tersebut:
- Sangat kucel dan tidak terurus
- Memakai pakaian yang aneh, tidak wajar, bolong-bolong.
- Memakai jam tangan rusak, berbagai kalung, gelang, memiliki anting di telinga, memakai topi dan merokok.
- Membawa barang bawaan yang tidak jelas seperti botol minuman, puntung rokok, dan barang yang tidak jelas lainnya yang terbungkus di tiga buah kantong plastic besar.
Proses pertemuan:
- Pada mulanya orang gila tersebut ketika ditanya tidak berespon dan cenderung untuk menarik diri.
- Kemudian setelah di coba untuk ditanya kembali orang gila tersebut mengatakan takut tanpa kontak mata.
Gilang : "Bapak Siapa?"
B : (tidak berespon)
Gilang : “Foto bareng yuk, ntar dikasih minum ma permen?”
B : “Ga mau” (sambil menggelengkan kepala tanpa kontak mata)
Gilang : “Emangnya kenapa pak?”
B : “Takut”
Setelah didekati terus akhirnya orang gila tersebut mulai tidak takut dan bercerita tentang dirinya yang tidak jelas dan kadang tidak masuk akal, akan tetapi ketika ditanya “di mana, kenapa, punya siapa, dan lain-lain” orang gila tersebut menjawab dengan benar/nyambung walaupun ujung-ujungnya loncat-loncat dan tidak bermakna.
Ketika suasana mulai akrab, orang gila tersebut mau menerima pemberian permen dan minuman serta dapat mengucapkan terimakasih. Sempat orang gila tersebut membalas pemberian dengan menawarkan tembakau terhadap saya seperti berikut; “Mau nih tembakau saya punya di dalam kantong plastic banyak?”. Orang gila tersebut mengatakan bahwa saya ini menurutnya adalah orang benar dan mirip sekali dengan temannya dulu.
Pada waktu akan mengakhiri percakapan, saya mengucapkan terimakasih kepada orang gila tersebut dan tak lama beberapa saat kemudian orang gila tersebut pergi meninggalkan halte tersebut.
Kesimpulan:
- Klien mengalami gangguan arus atau jalan pikiran berupa Flight of Ideas dan Inkohorensi yang ditandai dengan pembicaraan yang cepat berubah, tidak nyambung dan loncat-loncat serta ada “gado-gado kata” seperti “….di gunung Salak, salak bali…”.
- Klien mengalami gangguan isi pikiran berupa waham kebesaran yang ditandai dengan mengatakan bahwa dirinya adalah orang benar, pernah kuliah yang katanya di universitas miliknya sendiri dan klien mengatakan bahwa sebenarnya saya ini anak metal (sambil membuka topinya dan mengibas-ngibaskan rambutnya).
- Klien kemungkinan mengalami gangguan ingatan dengan mengatakan bahwa dirinya pernah dipenjara tetapi tidak jelas cara penyampaiannya dan cenderung tidak masuk akal.
Minggu, 07 Desember 2008
Ketika ia dalam pemasungan
Berabad-abad lamanya gangguan jiwa ini telah ada. Terkadang yang nampak oleh mata adalah perawatan yang diberikan terhadap klien gangguan jiwa yakni perlakuan dalam merawatnya. Ya... perlakuan yang diberikan baik dari keluarga maupun masyarakat. Perlakuan dalam hal penanganan antara lain: klien menjadi orang yang disisihkan bahkan disembunyikan dari peradaban, pengobatan yang membutuhkan waktu menahun hingga keluarga kehabisan harta bendanya, pandangan masyarakat terhadap klien adalah pelabelan sebagai "orang gila" dan masih banyak lagi.
Dahulu kala, orang yang mengalami gangguan jiwa berat jalan keluarnya adalah dengan pemasungan. Yap, cost financial ataupun social menjadi murah dan tidak ada yang tau kalo memiliki keluarga gangguan jiwa. Klien cukup dikurung dalam kamar khusus, bahkan mungkin juga dirantai salah satu anggota tubuhnya. Dari study yang pernah dilakukan, klien yang secara sengaja dipisahkan dari interaksi sosialnya mengalami tingkat kesembuhan yang sangat kecil dibandingkan dengan klien yang mengalami perawatan yang lebih humanis.
Perawatan Humanis adalah dengan jalan....
# berikan farmakoterapi sesuai dengan dosis yang seharusnya karena fungsi obat adalah agar menekan stressor yang masih ada sehingga klien dapat menjadi lebih tenang.