Words are, of course the most powerful drug used by mankind (Rudyard Kipling)

We just an ordinary one, from Faculty of Nursing - University of Padjadjaran that want to present our best in making this blog...

Our mission is to introduce Psychiatric Nursing as a part of Nursing Care and it's relation to human needs besides that we want to share information about the evolution and development of Psychiatric Nursing as a knowledge...

Hope it will be useful for people who want to search about the articles that we have made...

Crew Serpihan Jiwa Kelompok 4 FIK UNPAD:

1. IMMA WARDHANI (N1O050005)
2. IIN SAKINAH (N1O050021)
3. APRIANI PURNAMA (N1O050032)
4. SRI HENDRAWATI (N1O050048)
5. DEBORAH SIREGAR (N1O050062)
6. GILANG ANGGITA (N1O050065)
7. YULIANTI (N1O050076)
8. YANE MELISIA L. (N1O050087)
9. RENGGANI GITA (N1O050092)
10. DEDEN BUDIMAN (N1O050097)
11. RIZKI FERDIANI P. (N1O050104)


Senin, 15 Desember 2008

Kamis, 11 Desember 2008

Sejarah Kegilaan dan Konstruksi Kebenaran

Anda mungkin ingat, pada tahun 2002, sebuah film berjudul A Beautiful Mind John Nash peraih Nobel matematika yang juga penderita schizophrenia. Asal tahu saja, film itu lalu dikritik habis-habisan oleh beberapa pengamat film dan perusahaan film pesaing, gara-gara dianggap mengabaikan sisi homoseksualitas dan kecenderungan anti-Semit yang ada pada diri Nash. Sementara itu, penulis biografi Nash, Sylvia Nasar, meskipun membelanya namun ia malah menulis bahwa karya-karya tulis anti-Semit dari Nash lebih merupakan wujud dari sakit jiwanya ketimbang kefanatikannya. dinominasikan meraih piala Oscar.
Kisah dalam film tersebut adalah karya

Pernyataan para pengkritik Nash ini, bahkan juga penulis biografinya (yang tampak membelanya) adalah contoh gambaran nyata tentang citra negatif dan perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap orang yang mengalami schizophrenia, yang malahan disebut oleh penulis biografi Nash sebagai sakit jiwa. Bukan hanya itu, perilaku homoseksual dianggap sebagai praktek yang menyimpang dan abnormal sehingga perlu dikenai sanksi sosial, atau setidaknya disembuhkan.

Nasib orang gila dalam keseharian
Dalam kehidupan sehari-hari kisah-kisah lain tentang orang-orang gila, orang yang mengalami masalah kejiwaan atau kelainan mental seperti penderita psikosis, schizophrenia, stress, depresi, dan sebagainya seringkali mengalami nasib yang jauh mengenaskan. Gejala-gejala seperti ini dipandang sebagai penyakit yang secara medis perlu disembuhkan. Masih beruntung bagi seorang Nash. Orang-orang yang selama ini dibilang gila dan tidak waras oleh masyarakat berkeliaran di pinggiran jalan dan menjadi obyek cemoohan. Mereka berada dalam kondisi yang benar-benar menyedihkan.
Orang-orang gila ini seringkali dikonsepsikan sebagai mereka yang menyimpang dari mayoritas masyarakat. Mereka dianggap defiant dalam kategori abnormal. Terhadap mereka, masyarakat menghardiknya sementara pemerintah pun menyingkirkannya, setidaknya mengasingkannya secara tidak manusiawi. Di Jakarta dan di kota-kota metropolitan pada umumnya, mereka dianggap sebagai sampah yang mengganggu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Tidak jarang kita jumpai aparat Trantib pemerintah daerah setempat menggaruk mereka tanpa rasa prikemanusiaan sedikitpun.
Perlakuan buruk masyarakat dan aparat pemerintah terhadap orang-orang yang disebut gila ini ternyata juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kalangan akademis dan orang-orang terpelajar yang menempuh studi bidang kedokteran. Atas nama penelitian ilmiah, kegilaan dipahami dan diajarkan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis. Mereka, para ahli psikiatri, sibuk menciptakan kategori-kategori dan definisi-definisi kegilaan berikut cara-cara penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu lantas mereka merasa berhak menentukan mana orang gila dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa yang sakit, serta apa yang normal dan apa yang abnormal. Pada gilirannya lalu mereka mengintrodusir mekanisme-mekanisme tertentu dan berbeda tentang bagaimana seharusnya memperlakukan mereka.
Perlakuan terhadap orang gila yang semena-mena ini biasanya ditentukan oleh persepsi dan konsepsi masyarakat atau pemerintah terhadap kegilaan. Oleh karena itu sebuah konsepsi yang keliru tentang kegilaan pasti akan membuahkan penanganan yang keliru pula. Dan pada gilirannya cara penanganan yang salah ini akan menyebabkan orang yang mengalami kegilaan sendiri malah bertambah menderita, bukannya dipulihkan.
Nah, dalam paparan ini saya ingin menunjukkan bahwa dalam sejarahnya konsep kegilaan telah dipahami secara berbeda-beda oleh masyarakat. Setiap masa dan periode memiliki konsep tersendiri mengenai kegilaan dan bagaimana ia harus ditangani, serta bagaimana dampak penanganan itu bagi penderita sendiri. Paparan ini sekaligus memperlihatkan bahwa konsep kegilaan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis adalah fenomena baru dalam dunia modern sekarang ini. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat-aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme.
Dalam hal ini tidak bisa tidak kita berhutang jasa pada Michel Foucault yang berhasil menggali bukti sejarah melalui serangkaian penelitiannya tentang sejarah kegilaan di Eropa.
Konsep kegilaan dalam lembaran sejarah: Orang Gila dan Penyakit Lepra
Pada abad Tengah, sebelum abad ke-15, di Eropa orang-orang gila dihubungkan dengan terjadinya penghilangan dan pengeksklusian terhadap para penderita lepra dari masyarakat umum, dan mereka ditempatkan pada rumah-rumah sakit terpisah. Di seluruh daerah kekristenan ternyata jumlah rumah sakitnya mencapai 19.000 buah. Sekitar tahun 1226 ketika Louis VIII membuat undang-undang rumah sakit lepra bagi Perancis, lebih dari 2000 kantor pendaftaran muncul. Di keuskupan Paris sendiri terdapat 43 kantor. Dua kantor paling besar sekitar Paris adalah Saint-Germain dan Saint-Lazare. Sementara itu pada abad ke-12, Inggris dan Skotlandia memiliki sedikitnya 220 rumah sakit bagi setengah juta penduduknya.
Lalu memasuki abad ke-15 semua rumah sakit itu perlahan-lahan mulai kosong. Dengan mulai menghilangnya penyakit lepra ini di Eropa, masyarakat menyelenggarakan pesta sukacita dan syukuran yang sangat meriah. Namun sesuatu telah berubah. Ada fenomena baru yang muncul seiring dengan menghilangnya lepra. Pada abad berikutnya kantor Saint-Germain di Paris bergeser menjadi tempat untuk mereformasi anak-anak nakal. Sementara itu di Inggris institusi-institusi rumah sakit itu digunakan untuk menangani orang-orang miskin. Adapun di Stuttgart Jerman, sebuah laporan pengadilan tahun 1589 mengindikasikan bahwa selama lima puluh tahun tidak ada lagi penderita lepra di rumah-rumah sakit. Tapi di Lipplingen, rumah sakit lepra berubah dipakai untuk menampung orang-orang yang tidak bisa disembuhkan dan orang-orang gila.
Pada awal abad ke-17, lepra benar-benar lenyap dari daratan Eropa. Meski demikian ada hal yang masih tersisa yang menarik dari hilangnya lepra ini dan terus berlanjut ke periode berikutnya. Yakni suatu struktur yang tetap tinggal dalam imaji-imaji masyarakat yang dilekatkan pada ciri penderita lepra, yakni struktur pengucilan atau eksklusi itu sendiri. Mengapa struktur ini masih bertahan meski penderita lepra telah tiada?.
Berlanjutnya “tradisi” pengucilan ini sebenarnya bisa ditemukan akarnya pada kosmologi gereja Abad Pertengahan yang mengenal konsep penyerahan diri sebagai kunci penyelamatan. Penyakit merupakan tanda kemarahan sekaligus anugerah Tuhan. Menerima dengan sabar segala penderitaan serta menerima konsekuensi pengucilan akibat penyakitnya memiliki makna sebentuk komuni kepada Allah. Pandangan semacam inilah yang ikut memungkinkan struktur pengucilan itu terus terjadi dan “direproduksi” bersamaan dengan kepercayaan reintegrasi spiritual Gereja. Dengan demikian sebenarnya hilangnya penderita lepra ini telah menyebabkan kekosongan obyek pemberlakuan hukum moral dalam spiritual Gereja. Sehingga konsekuensinya nilai-nilai moral yang semula dikenakan kepada penderita lepra yang kini telah lenyap harus mendapatkan kambing hitam lainnya. Pertanyaannya siapa kambing hitamnya? Mari kita ikuti kisah orang gila pada abad berikutnya.
Orang Gila dan Parodi Kritik Sosial
Memasuki periode renaisans, kisah tentang orang-orang gila mulai beragam. Dalam beberapa karya sastra klasik digambarkan mengenai orang-orang gila yang yang dinavigasikan dalam kapal di lautan. Namun gambaran kapal-kapal itu bersifat romantik dan satiris yang secara simbolis membawa orang-orang gila ke pulau keberuntungan dan kebenaran mereka. Di antara karya-karya ini adalah Symphorien Champier yang memadukan Ship of Princes and Battles of Nability pada tahun 1502 dengan Ship of Virtous Ladies tahun 1503.
Terdapat juga Ship of Health bersama dengan Bauwe Schute Jacob van Oestvoren tahun 1413.
Adapun dalam Narranschiff, orang-orang gila itu bebas berlayar dari kota ke kota. Mereka berlayar dengan mudah dan diijinkan mengembara di daerah terbuka. Pada masa renaisance ini, orang-orang gila diperlakukan secara baik, dirawat sedemikian rupa di tengah-tengan warga kota, seperti di Jerman. Selain itu bahtera-bahtera ziarah dan kargo-kargo menjadi perlambang orang-orang gila yang tengah mencari rasionya.
Masa ini disebut juga “fase ambang” bagi orang-orang gila. Mereka yang di samping sebagai tahanan, juga memiliki ruang bebas.
Dalam karya sastra, semisal Praise of Folly karangan Erasmus, dan The Cure of Madnes dan Ship of Fools karangan Hieronymus Bosch, kegilaan sering dimainkan sebagai parodi atau satire dalam pertunjukan drama-drama. Justeru mereka yang dilekati status gila adalah mereka yang dengan keanehannya membawa kabar kebenaran dan pesan kebijaksanaan. Foucault menyebutnya orang-orang yang dikaruniai hikmat. Orang gila, orang bodoh atau orang tolol inilah yang justeru memiliki eksistensi penting sebagai penjaga moral dan kebenaran. Dalam spontanitas parodi, mereka melontarkan kritisisme sosial dan moral. Mereka menjungkirbalikkan norma-norma, asumsi-asumsi, dan pandangan-pandangan umum yang dianut masyarakat. Orang gila macam ini dibiarkan berkeliaran. Ia menjadi lambang/simbol kebijaksanaan, atau semacam Kebodohan yang melawan dan berdialog dengan supremasi kepintaran rasio.
Orang Gila dan Hospital Generale
Seiring bergulirnya waktu, makna positif kegilaan era renaisans yang menandai dialog kritis antara “kebodohan” dan rasio ini pelan-pelan lenyap. Tema-tema kapal kegilaan berakhir dan muncullah tema “Rumah Sakit Jiwa”.
Pada abad ke-17 terjadi pergeseran makna dan posisi orang-orang gila ini.
Di Paris, Inggris, Skotlandia, dan juga Jerman, tiba-tiba secara serentak hampir bersamaan, orang-orang gila ditempatkan dalam “Hospital Generale”; sebuah rumah pengurungan yang dibangun atas biaya pemerintah.
Di Paris, pendirian Hospital Generale ini sengaja didekritkan pada tahun 27 April 1656. Bersamaan dengan itu, gudang-gudang senjata, rumah tinggal, balai-balai kota, dan rumah-rumah sakit difungsikan sebagai rumah pengurungan. Ruang di mana orang miskin Paris, orang-orang cacat dengan segala jenis kelamin dan keturunan, dalam kondisi sehat atau tidak sehat ditempatkan di dalamnya. Pinel, misalnya menemukan orang-orang Gila dalam Hospital Generale di Bicetre (rumah prajurit) dan La Salpetriere (gudang senjata). Di sana hukuman dan represi diberlakukan dengan sadis oleh raja, polisi dan pengadilan.
Di Paris, Hopital Generale ini sama sekali tidak terkait dengan dengan suatu konsep medis tertentu untuk merawat orang-orang gila, melainkan kekuasaan. Kenyataan ini ditunjukkan dari peristiwa pembubaran Pusat Yayasan Sosial Gereja Seluruh Negara (Grand Almonry of the Realm) yang bertugas memberi bantuan sosial dan kesejahteraan kepada masyarakat oleh penguasa raja.. Dengan penghapusan ini diharapkan pemerintah akan lebih leluasa menerapkan proses pengurungan tanpa intervensi hukum dari lembaga-lembaga lain. Dengan demikian sesungguhnya Hospital Generale tidak lain merupakan instansi aturan dari tatanan monakhial dan borjuis belaka yang dijalankan di Perancis selama periode tersebut.
Adapun di Jerman, rumah-rumah pengoreksian atau Zuchthausern, semacam Hospital Generale didirikan
di Hamburg sekitar tahun 1620,
Basel (1667), Breslau (1668),
Frankfurt (1684),
Spandau (1684) dan
Konigsberg (1691).
Jumlah ini pun masih berkembang di Leipzig, Halle, Cassel, Brieg, Osnabruck dan Torgau. Bangunan kurungan ini mirip struktur semi-pengadilan, yang memiliki aparat-aparat administratif yang memiliki kekuasaan mutlak dan aturan-aturan yang independen di luar peradilan, kehakiman, dan keputusan raja. Orang-orang gila dikurung bersama-sama dengan para tuna-wisma, pengangguran, orang sakit, orang tua, orang yang tidak waras, dan kaum miskin.
Di Inggris, asal-usul pengurungan ini diperoleh dengan penemuan akta pada tahun 1575 yang berisi “hukuman atas para gelandangan dan pembebasan orang-orang miskin”. Rumah-rumah pengoreksian dibangun mencapai angka satu rumah setiap desanya. “Akta proyek” ini telah menempatkan para pengangguran, gelandangan, dan orang-orang miskin ke dalam rumah-rumah pengoreksian. Mereka dikurung dan dipekerjakan di dalamnya. Yang paling mengerikan mereka berada di bawah tanggungan pribadi-pribadi sehingga sering diperlakukan sewenang-wenang.
Sebuah akta tahun 1670
pengadilan menegaskan status mereka dalam rumah-rumah kerja. Tidak kalah juga pada tahun 1697 beberapa jemaah gereja Bristol bersatu padu membentuk rumah-rumah kerja pertama di Inggris. Rumah kerja kedua dibangun di Worcester tahun 1703 dan ketiga di Dublin, lalu di Plymouth, Norwich, Hull dan Exester. Hingga pada akhir abad ke-18, rumah-rumah kerja ini sudah mencapai terdapat 126 buah. Rumah-rumah kerja ini lalu meluas sampai Belanda, Italia, dan Spanyol. Penghuninya pun mulai heterogen. Dari orang-orang yang dituduh melanggar hukum dalam masyarakat, anak nakal, pemboros, orang yang tidak memiliki profesi sampai mereka yang dianggap tidak waras.
Perlu ditekankan di sini, bahwa pada abad tersebut masyarakat industri yang menekankan sebesar-besarnya produksi mulai terbentuk di Eropa. Karenanya lalu kriteria kegilaan pun ditujukan bagi mereka yang tidak mampu bekerja, para peminta, orang-orang malas, atau mereka yang tidak lagi produktif.
Pada tahun 1532, Parlemen Paris memutuskan menangkap pengemis dan memaksa mereka bekerja di pabrik tenun dengan kaki di rantai.
Tahun 1534, para pengemis dan gelandangan harus meninggalkan kota dan dilarang menyanyi himne di jalan-jalan. Pada tahun 1657 keluar sebuah maklumat berisi larangan kepada siapapun untuk mengemis di kota dan di desa sekitar Paris.
Bahkan pada tahun 1622 muncul pamflet Grievous Groan for the Poor (Rintihan yang menyedihkan bagi orang-orang miskin) dibuat oleh Thomas Dekker yang menekankan bahaya yang akan terjadi atas keberadaan orang-orang miskin dan merekomendasikan agar mereka dibuang ke tanah baru India Barat dan Timur. Atau mereka ditempatkan dalam rumah-rumah pengoreksian.
Tampak kemudian apa yang disebut sebagai Hospital Generale ini adalah tempat pengurungan bagi orang-orang yang dianggap abnormal, gila, dan menyimpang. Mereka adalah pengangguran, pengemis, pemalas, orang-orang cacat, juga orang yang tidak waras dan tidak mampu bekerja. Di dalam Hospital Generale ini lalu mereka ditempatkan untuk diberikan pekerjaan oleh penguasa.
Tujuannya bukan untuk menjamin kesejahteraan mereka, melainkan sebagai disposisi penguasa tentang apa yang seharusnya mereka lakukan. Tepatnya sebuah etika bahwa manusia harus melakukan kerja sebagai sebuah hukuman. Menjadi kewajiban moral penguasa untuk membuat manusia itu bekerja. Dengan bekerja, manusia membedakan dirinya dengan binatang, yakni sebagai manusia yang waras.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa fungsi Hospital Generale adalah alat koreksi belaka terhadap status kegilaan seseorang; yakni mencegah kesemrawutan tatanan dari orang-orang malas, pengemis dan pengangguran, yang notabene dianggap sebagai dimensi kebinatangan manusia. Atas nama “kewajiban moral” ini penguasa melakukan serangkaian praktek pendisiplinan dan represi fisik terhadap orang-orang gila. Mereka diikat dengan rantai, dipukuli, berada dalam pasungan, digantung, dan dtempatkan dalam penjara-penjara untuk mentaati kerja.
Peristiwa ini bisa dihubungkan dengan pengkambinghitaman atas hilangnya subyek moral setelah penyakit lepra di daratan Eropa menghilang.
Orang Gila dan Disiplin Psikiatri
Memasuki abad 19, orang-orang gila dikelompokkan dan dikategorisasikan ke dalam mereka yang mengalami gangguan mental, stres, neurosis, melankolis, atau schizoprenia dimasukkan dalam rumah-rumah sakit jiwa. Mereka menjalani proses “penyembuhan”. Mereka tidak lagi mengalami represi fisik (diikat pada rantai atau dicambuk seperti seabad sebelumnya), juga mereka tidak menjadi tanggung jawab masyarakat bersama, melainkan kegilaan itu ditangani oleh seorang dokter, seorang terapist atau seorang psikiater untuk disembuhkan bak suatu penyakit.
Bagaimana mekanismenya?
Adapun mekanismenya adalah melalui kesunyian dan penyadaran layaknya orang yang bertatapan dengan “cermin”. Maksudnya: orang-orang gila ini ditempatkan dalam kesunyian, berbicara, menatap dan mengoreksi dirinya sendiri, bagaikan berada dihadapan sebuah cermin, sehingga menyadari kegilaannya. Melalui percakapan, bahasa dan kata-kata, terapi mencoba meyakinkan orang gila akan status kegilaannya dan menyadari dirinya sendiri benar-benar gila supaya bebas dari kegilaan tersebut. Melalui terapi itu mereka dihinakan karena status kegilaannya itu.
Di sini tentu saja sang terapis-lah (dokter) yang menentukan disposisi gila dan tidak, rasional atau tidak rasional. Dan perlahan-lahan cara-cara, aturan-aturan, dan pengetahuan terapi ini diinstitusionalisasikan dalam suatu disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini sebagai disiplin ilmu psikiatri, berikut teknik psikoanalisisnya.
Penilaian kegilaan ini dilakukan secara terus menerus! Apa yang dilakukan oleh tokoh medis ini dalam teknik psikiatrinya bukanlah diagnosa obyektif dan ketat atas kegilaan itu sendiri, melainkan mengobservasi dan mempercakapkan kegilaan itu sendiri pada penderitanya. Tokoh medis itu mengorek sumber-sumber kegilaan, mengungkap kesalahan-kesalahan tersembunyi, dan biasanya berusaha menghadirkan rasionalitas menggantikan unsur-unsur atau perasaan irasionalitas penyebab kegilaan. Dokter, melalui otoritas keilmuannya, mengontrol, mengawasi, dan menentukan kehendak, moralitas dan makna keteraturan atau kewarasan dalam diri pasien.
Menurut Foucault, tahap ini merupakan tindakan yang lebih menyakitkan daripada represi fisik sebagaimana terjadi sebelumnya. Mengapa?
Karena disiplin psikiatri justeru menjadi alat represi paling paripurna yang langsung menusuk ke jantung batin, mengawasi perasaan dan pikiran manusia. Jika pada abad klasik orang gila dibiarkan berkeliaran atau dihempaskan berlayar dalam samudra kebebasan, lalu pada abad berikutnya mereka dikurung dalam penjara Hospital Generale yang represif dan mematikan, maka pada abad 19 ini kegilaan adalah sebuah penyakit dan penderitanya mesti ditempatkan dalam rumah sakit jiwa untuk disembuhkan secara medis. Bukan hanya itu, sekarang telah muncul suatu otoritas baru yang memiliki otoritas tunggal menentukan status kegilaan seseorang.
Yakni: para ahli dan dokter. Tidak berhenti di situ mereka pun menciptakan disiplin keilmuan baru untuk melegitimasi kekuasaannya. Yakni: disiplin ilmu psikiatri.
Dengan demikian pada jaman modern ada tiga institusi yang saling terkait dan dianggap paling berhak menghakimi status kegilaan seseorang.
Pertama, dokter atau ahli medis;
kedua, disiplin ilmu psikiatri; dan ketiga, sebuah struktur aneh yang disebut rumah sakit jiwa. Foucault menyebut fenomena ini sebagai pendewaan atas tokoh medis dalam struktur penanganan kegilaan.
Tiga institusi inilah yang akhirnya memberikan label baru terhadap orang-orang gila ini sebagai orang yang berpenyakit jiwa.
Kesimpulan: Sensitifitas terhadap kuasa/pengetahuan
Dalam terang hasil penelitian Michel Foucault mengenai sejarah kegilaan di atas, sekarang kita bisa pahami bagaimana sebuah kegilaan telah dikonsepsikan dan ditangani secara berbeda-beda dalam setiap periode sejarah tertentu. Ada pergeseran-pergeseran tentang makna kegilaan berikut posisi orang-orang gila dalam masyarakat. Di situ pula ditunjukkan kekuasaan macam apa yang mengklaim punya hak menentukan kategori-kategori kegilaan dan cara penanganannya.
Dalam kapal-kapal kegilaan abad renaisans, misalnya, orang-orang gila adalah mereka kaum bijak yang bebas menyampaikan khotbah-khotbah satiris dan kritis terhadap kekuasaan. Dalam Hospital Generale orang-orang gila didefinisikan dan dikendalikan oleh kuasa obligasi etis negara. Sedangkan dalam rumah sakit jiwa mereka diawasi, dikontrol dan dikendalikan para tokoh medis dan ilmu psikiatrinya.
Kini disiplin psikiatri sangat sentral dalam penanganan masalah kelainan mental atau kegilaan ini. Dengan mudahnya kegilaan dipersepsi sebagai penyakit yang mesti disembuhkan secara medis. Lihatlah misalnya laporan Scientific American 1999. Dengan mengutip hasil penelitian W.W. Eaton, laporan ini menyatakan bahwa pada tahun 1985 terdapat sekitar 1 % penduduk dunia yang berumur antara 15 hingga 30 tahun mengidap penyakit Schizoperenia. Angka tersebut akan terus membesar karena hingga kini belum ditemukan metoda penyembuhan dan obat penyembuh yang manjur dan meyakinkan. Lalu laporan itupun mengajukan tiga pendekatan untuk mengenali gejala penyakit jiwa ini.
Yaitu pendekatan genetika, pendekatan kejiwaan, dan pendekatan anatomis keorganan otak. Pendekatan genetika, katanya, cenderung mengkaitkan penderita penyakit Schizoprenia berdasarkan garis keturunan dengan genetika generasi sebelumnya seperti ayah-bunda, kakek-nenek dan seterusnya, mengenai kemungkinan mengidap penyakit yang sama. Adapun pendekatan kejiwaan menyimpulkan bahwa penyebab penyakit schizoprenia berasal dari ketidakberesan mental (mental disorder).
Masalah kejiwaan ini (pathophysiology) berkaitan timbal balik dengan kerja fungsional otak melalui jaringan sistem persyarafan. Dan pada akhir laporan tersebut dinyatakan bahwa uji coba perawatan medis terhadap gejala-gejala kejiwaan tersebut (penyakit-penyakit itu, kata mereka) terkadang menimbulkan dampak yang mengerikan, terutama bagi penderita yang berusia produktif, karena dapat menimbulkan kekurangan pathognomonic yang berpengaruh pada tingkat kesuburan penderita.
Oleh karena itu, diharapkan pengobatan alternatif dapat berperan
Dari laporan tersebut setidaknya secara implisit menunjukkan bahwa penanganan medis terhadap gejala kegilaan atau sakit mental tidaklah berhasil. Bisa jadi (atau malahan mungkin bisa dipastikan), ketidakberhasilan ini akibat salah diagnosa terhadap gejala kegilaan. Ia dianggap sebuah penyakit. Padahal bisa jadi gejala-gejala yang ahli medis anggap sebagai sakit jiwa, kelainan mental, atau kegilaan tersebut adalah produk atau pengaruh dari sistem sosial kita yang sebenarnya fasis dan tidak memberi ruang sejengkalpun pada manusia untuk membangun proyek imajinasinya. Bisa jadi mereka adalah jiwa-jiwa yang kosong yang meratap dan mengalami histeria ketakutan oleh situasi masyarakat dan sistem sosial kita yang telah sakit parah. Sayangnya orang-orang yang mengaku sehat (padahal sebenarnya sakit ini) malahan menghakimi mereka sebagai penderita penyakit jiwa.
Sejarah kegilaan dan bagaimana ia ditangani secara berbeda-beda di atas memberi pelajaran mengenai kejatuhan kita dalam berbagai asumsi naif. Asumsi-asumsi yang berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Karenanya, kita seyogyanya perlu curiga terhadap asumsi-asumsi itu dan kekuasaan (kuasa pengetahuan, kuasa institusi, kuasa otoritas tertentu) di baliknya. Ini artinya, kita dituntut memiliki sensitifitas dan kepekaan dalam melihat kenyataan: apakah suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan emansipatoris atau, sebaliknya, justeru melakukan dehumanisasi?
Jelasnya, kita patut mempertanyakan jangan-jangan persepsi dan cara kita memperlakukan orang gila, tidak waras, gangguan mental, dan sebagainya selama ini adalah konstruksi belaka dari sebuah “rezim kebenaran” yang diciptakan oleh para ahli medis dan disiplin ilmu psikiatri yang sekarang ini giat diintrodusir melalui sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Jika benar demikian, maka tibalah kita pada kesimpulan hipotetis, bahwa pengetahuan dan tindakan kita sepenuhnya dikendalikan rezim kekuasaan/pengetahuan yang fasis dan yang tak henti-hentinya mencengkeram kehidupan kita.

Studi Kasus


Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka semakin tinggi tingkat persaingan hidup, ditandai dengan banyaknya pengangguran, tersisihnya kaum yang lemah secara ekonomi dan pendidikan, penggusuran, krisis ekonomi serta masalah penyimpangan sosial lainnya. Hal ini berdampak pada peningkatan angka penderita gangguan jiwa. Selama ratusan tahun sejarah bangsa Indonesia bergulir, mulai zaman kolonial Hindia Belanda yang menerapkan Custodial Care sampai zaman reformasi. Hal ini memberikan dampak pada perjalanan keperawatan jiwa di Indonesia. Dalam memasuki abad 20 ini, pandangan dunia dan Indonesia terhadap keperawatan jiwa sudah berubah. Pada saat ini telah dikembangkan konsep Publich Health, Envolving Process Specialization, dan Deinstitusionalisasi.

Pertanyaan Diskusi
1. Jumlah penduduk Indonesia 120 juta jiwa, 2% nya diprediksikan mengalami gangguan jiwa berat, bila 50% nya harus di rawat, berapa tempat tidur yang dibutuhkan?
2. Jelaskan tindakan yang dilakukan pada klien gangguan jiwa pada zaman dulu bila klien tersebut dianggap membahayakan atau tidak membahayakan?
3. Dimana rumah sakit jiwa pertama yang dibangun pada zaman kolonial, dan apa latar belakangnya?
4. Pemerintah Hindia Belanda mengenal 4 macam perawatan klien psikiatrik, jelaskan jenis-jenisnya, tempat mana yang dikepalai seorang perawat?
5. Mengapa Custodial Care yang dahulu dianut sekarang ditinggalkan?
6. Bagaimana perkembangan usaha kesehatan jiwa antara tahun 1947 – 1975 di Indonesia?
7. Apa perbedaan pandangan dan perlakuan dunia terhadap klien gangguan jiwa pada awal sejarah, abad pertengahan, dan abad 20?
8. Apa pengaruh perubahan pelayanan public health service terhadap keperawatan jiwa?
9. Mengapa daat ini keperawatan jiwa lebih berfokus pada preventif dibanding kuratif?
10. Apa yang dimaksud deinstitusionalisasi dan spesialisasi dalam keperawatan jiwa masa kini?

Sumber: Studi Kasus dari Bagian Keperawatan Jiwa FIK UNPAD

Rabu, 10 Desember 2008

GILANG 'N FRIEND SHOW

Pengambilan foto dan video bersama orang gila ini mengambil lokasi di alun-alun kota Sumedang tepatnya di halte angkutan umum sebelah timur alun-alun atau di depan lembaga pemasyarakatan (LP) di Sumedang. Pengambilan dilakukan hari Sabtu, 6 Desember 2008 pada pukul 10.30 WIB.
Dalam proses pengambilan foto dan video tersebut dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama yaitu pengkajian untuk memastikan target orang gila atau bukan. Tahap kedua yaitu pendekatan kepada target agar orang gila tersebut mau berespon terhadap perkataan maupun tingkah laku pengamat. Dan yang ketiga yaitu penelusuran kepada orang gila untuk dengan cara ngobrol dan mendengarkan perkataannya untuk mengidentifikasi gangguan-gangguan yang merupakan ciri dari orang gila.

Penampilan fisik orang gila tersebut:

  • Sangat kucel dan tidak terurus
  • Memakai pakaian yang aneh, tidak wajar, bolong-bolong.
  • Memakai jam tangan rusak, berbagai kalung, gelang, memiliki anting di telinga, memakai topi dan merokok.
  • Membawa barang bawaan yang tidak jelas seperti botol minuman, puntung rokok, dan barang yang tidak jelas lainnya yang terbungkus di tiga buah kantong plastic besar.

Proses pertemuan:

  • Pada mulanya orang gila tersebut ketika ditanya tidak berespon dan cenderung untuk menarik diri.
  • Kemudian setelah di coba untuk ditanya kembali orang gila tersebut mengatakan takut tanpa kontak mata.
Contoh
Gilang : "Bapak Siapa?"
B : (tidak berespon)
Gilang : “Foto bareng yuk, ntar dikasih minum ma permen?”
B : “Ga mau” (sambil menggelengkan kepala tanpa kontak mata)
Gilang : “Emangnya kenapa pak?”
B : “Takut”

Setelah didekati terus akhirnya orang gila tersebut mulai tidak takut dan bercerita tentang dirinya yang tidak jelas dan kadang tidak masuk akal, akan tetapi ketika ditanya “di mana, kenapa, punya siapa, dan lain-lain” orang gila tersebut menjawab dengan benar/nyambung walaupun ujung-ujungnya loncat-loncat dan tidak bermakna.
Ketika suasana mulai akrab, orang gila tersebut mau menerima pemberian permen dan minuman serta dapat mengucapkan terimakasih. Sempat orang gila tersebut membalas pemberian dengan menawarkan tembakau terhadap saya seperti berikut; “Mau nih tembakau saya punya di dalam kantong plastic banyak?”. Orang gila tersebut mengatakan bahwa saya ini menurutnya adalah orang benar dan mirip sekali dengan temannya dulu.
Pada waktu akan mengakhiri percakapan, saya mengucapkan terimakasih kepada orang gila tersebut dan tak lama beberapa saat kemudian orang gila tersebut pergi meninggalkan halte tersebut.

Kesimpulan:

  • Klien mengalami gangguan arus atau jalan pikiran berupa Flight of Ideas dan Inkohorensi yang ditandai dengan pembicaraan yang cepat berubah, tidak nyambung dan loncat-loncat serta ada “gado-gado kata” seperti “….di gunung Salak, salak bali…”.
  • Klien mengalami gangguan isi pikiran berupa waham kebesaran yang ditandai dengan mengatakan bahwa dirinya adalah orang benar, pernah kuliah yang katanya di universitas miliknya sendiri dan klien mengatakan bahwa sebenarnya saya ini anak metal (sambil membuka topinya dan mengibas-ngibaskan rambutnya).
  • Klien kemungkinan mengalami gangguan ingatan dengan mengatakan bahwa dirinya pernah dipenjara tetapi tidak jelas cara penyampaiannya dan cenderung tidak masuk akal.


Minggu, 07 Desember 2008

Ketika ia dalam pemasungan

Sisi lain....
Berabad-abad lamanya gangguan jiwa ini telah ada. Terkadang yang nampak oleh mata adalah perawatan yang diberikan terhadap klien gangguan jiwa yakni perlakuan dalam merawatnya. Ya... perlakuan yang diberikan baik dari keluarga maupun masyarakat. Perlakuan dalam hal penanganan antara lain: klien menjadi orang yang disisihkan bahkan disembunyikan dari peradaban, pengobatan yang membutuhkan waktu menahun hingga keluarga kehabisan harta bendanya, pandangan masyarakat terhadap klien adalah pelabelan sebagai "orang gila" dan masih banyak lagi.

Dahulu kala, orang yang mengalami gangguan jiwa berat jalan keluarnya adalah dengan pemasungan. Yap, cost financial ataupun social menjadi murah dan tidak ada yang tau kalo memiliki keluarga gangguan jiwa. Klien cukup dikurung dalam kamar khusus, bahkan mungkin juga dirantai salah satu anggota tubuhnya. Dari study yang pernah dilakukan, klien yang secara sengaja dipisahkan dari interaksi sosialnya mengalami tingkat kesembuhan yang sangat kecil dibandingkan dengan klien yang mengalami perawatan yang lebih humanis.
Klien pasung seringkali banyak mengalami kemunduran misalnya kemunduran secara fisik biasa akan menurunkan kekuatan gerak motoriknya sehingga yang terjadi adalah kaki menjadi bengkok karena kurang banyak bergerak.Telah lama sebenarnya metode ini dilarang untuk digunakan. Namun tekadang masih saja ada yang menggunakan pemasungan sebagai alat guna "memudahkan perawatan namun tidak menyembuhkan bagi klien". Terkadang ini sebagai jalan pintas dari sebuah keputusasaan dengan penyakit yang tak kunjung sembuh. Ya... penyakit yang tak kunjung sembuh karena gangguan jiwa sama dengan penyakit fisik yang menahun pula. Ia mesti mendapat perawatan rutin dan juga memiliki "pantangan-pantangan" yang mesti dijaga agar tidak mudah tersinggung bahkan mengamuk ketika melampiaskan emosinya.
Perawatan Humanis adalah dengan jalan....
# berikan farmakoterapi sesuai dengan dosis yang seharusnya karena fungsi obat adalah agar menekan stressor yang masih ada sehingga klien dapat menjadi lebih tenang.
# akan lebih baik jika ada rekam medik psikis, hal ini digunakan unuk melacak penyebab stressor yang menjadikan pencetus gangguan jiwa. Jika ada faktor keturunan juga dapat digunakan sebagai pemutus mata rantai untuk generasi di bawahnya.
# Family Gathering sebagai salah satu faktor mempercepat upaya penyembuhan klien.
Bawa dukungan keluarga, komunikasi yang tetap dibangun (walaupun mungkin nggak nyambung), pengaturan dosis obat akan menjadi dukungan tersendiri bagi klien.

Kamis, 18 September 2008

Sejarah Perkembangan Jiwa

MENTAL ILLNESS
“An illness with psychological or behavioral manifestations and or impairment infunctioning due to a social, psychologic, generic, physical / chemical, or biologic disturbance”( Stuard & Sundeen 1998 )
Keperawatan jiwa merupakan proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi yang terintegrasi. Keperawatan jiwa merupakan bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya (ANA).
Menurut WHO, kesehatan jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak terjadi ganguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yang bersifat positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian yang bersangkutan. Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1996, kesehatan jiwa merupakan kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini selaras dengan orang lain. Sedangkan menurut Yahoda, kesehatan jiwa adalah keadaan yg dinamis yang mengandung pengertian positif, yang dapat dilihat dari adanya kenormalan tingkah laku, keutuhan kepribadian, pengenalan yang benar dari realitas dan bukan hanya merupakan keadaan tanpa adanya penyakit, gangguan jiwa dan kelainan jiwa.


EVOLUSI PERAWATAN KESEHATAN JIWA

1920-1945 : Care fokus pada disease (model Curative Care)

1950-1960
:
1.Pelayanan mulai berfokus pada klien, anggota keluarga tidak dianggap sebagai bagian dari tim perawatan
2.Psychotropic menggantikan Restrains dan Seclusion
3.Deinstitutionalization dimulai, mereka bukan partisipan aktif dala perawatan dan pengobatan kesehatan mereka sendiri
4.Mulai penekanan pada therapeutic relationship
5.Fokus utama pada primary preventive
6.Perawatan kesehatan jiwa diberikan di rumah sakit jiwa yang besar (swasta atau pemerintah) yang biasanya terletak jauh dari daerah pemukiman padat.
7. Lama rawat seorang klien biasanya cukup lama.

1960 – 1970
:
Pergerakan Hak-Hak Sipil (The Civil Rights) di 1960-an merupakan katalis untuk berfokus pada hak-hak penderita gangguan jiwa.
1. The Community Mental Health Centers Act (1963) secara dramatis memengaruhi pemberian pelayanan kesehatan jiwa.
2. Undang-Undang inilah yang menyebabkan fokus dan pendanaan perawatan beralih dari rumah sakit jiwa yang besar ke pusat-pusat kesehatan jiwa masyarakat yang mulai banyak didirikan dan mencakup layanan berikut ini:
a. Rawat darurat: pengkajian dan pemberian perawatan yang tepat dan cepat.
b. Rawat inap 24 jam: perawatan berbasis rumah sakit untuk stbilisasi gejala (mis., perawatan jangka pendek).
c. Hospitalisasi parsial: program perawatan untuk individu yang memerlukan perawatan harian, tetapi bukan perawatan 24 jam. Klien datang selama 6 sampai 8 jam per hari dan berpartisipasi dalam berbagai terapi (mis., terapi kelompok atau individu, pelatihan keterampilan social).
d. Rawat jalan: pengkajian, psikoterapi, dan penatalaksanaan pengobatan, klien datang 1 sampai 2 jam per minggu.
e. Konsultasi dan pendidikan: outreach program untuk kelompok komunitas yang membahas tentang topic-topik kesehatan jiwa, misalnya pelatihan untuk para majikan dalam membantu karyawan mereka yang bermasalah dengan alcohol.

1773 :

Custodial Care (tidak oleh tenaga kesehatan)Perawatan bersifat isolasi dan penjagaan.1970-1980 :
- Perawatan beralih dari perawatan rumah sakit jangka panjang ke lama rawat yang lebih singkat
- Fokus pada community based care / service (Pengobatan berbasis komunitas)
- Riset & Technology
- Populasi klien di rumah sakit jiwa yang besar berkurang, dan banyak rumah sakit yang ditutup
- Pusat-pusat kesehatan komunitas jiwa sering tidak mampu menyediakan layanan akibat bertambahnya jumlah klien.
- Tunawisma menjadi masalah bagi penderita penyakit mental kronik persisten yang mengalami kekurangan sumber daya keluarga dan dukungan social yang adekuat.

1980 - 1990
.
Biaya perawatan kesehatan yang tinggi dan kebutuhan pembatasan biaya menjadi focus nasional.
1. Sistem managed care, mengatur hubungan antara pembayar, penyedia jasa, dan konsumen layanan kesehatan.
a. Sistem ini memantau distribusi pelayanan, tindakan penyedia jasa, dan hasil perawatan.
b. Tujuan dari sistem ini adalah mengurangi biaya sambil tetap meningkatkan mutu pelayanan.
c. Hubungan antara penyedia jasa dan pengguna layanan tidak lagi bersifat primer. Manajer dan pihak asuransi kesehatan memantau hubungan antara penyedia jasa dan konsumen layanan kesehatan.
2. Jenis-jenis sistem managed care meliputi:
a. Health maintenance organizations (HMO), menawarkan dana yang telah ditetapkan sebelumnya bagi klien di populasi tertentu sebagai pembayaran atas layanan kesehatan yang diberikan penyedia jasa selama jangka waktu tertentu.
b. Organisasi praktik mandiri, tempat kelompok-kelompok penyedia layanan kesehatan mengadakan kontrak dengan HMO.
c. Organisasi Penyedia Jasa Terpilih (Preferred Provider Organizations [PPOI]), kelompok-kelompok penyedia jasa yang telah disetujui HMO tertentu untuk memberikan layanan pada pupolasi kliennya.

1882 :

Primary Consistend of Custodial Care

1990-2000
:Fokus pada preventif / community based service, primary preventive using various approaches; such as mental health center, partical, hospital service, day care center, home health and hospice care
Perubahan-perubahan yang signifikan dalam perawatan kesehatan jiwa.
1. Managed care menghubungkan struktur dan layanan baru.
a. Manajemen kasus. Seorang manajer kasus ditugaskan untuk mengkoordinasikan pelayanan untuk klien individu dan bekerja sama dengan tim multidisipliner.
b. Jalur kritis dan peta perawatan. Alat-alat manajemen klinis yang menunjukkan organisasi, urutan dan waktu intervensi yang diberikan oleh tim perawatan untuk satu gangguan yang teridentifikasi pada klien.
c. Perawatan komunitas berbasis populasi. Pemberian dan pemfokusan layanan pencegahan primer (bukan hanya perawatan berbasis penyakit); mencakup identifikasi kelompok-kelompok berisiko tinggi dan penyuluhan untuk mencegah gaya hidup guna mencegah penyakit.
2. Tempat alternatif memberikan pengobatan di lingkungan yang paling tidak restriktif. Perawatan dan pengobatan berbasis komunitas ditujukan pada pencegahan tersier, yang dirancang untuk mengurangi keparahan masalah kesehatan mental dan membantu seseorang untuk hidup dengan kapasitas fungsi setinggi mungkin.
Tempat untuk pengobatan alternatif adalah sebagai berikut:
a. Pusat kesehatan jiwa dan pusat krisis komunitas
b. Unit-unit psikiatrik rawat inap jangka pendek di rumah sakit komunitas
c. Hospitalisasi parsial dan program day-care
d. Program pengobatan residensial di halfway house, board-and-care homes, dan panti
e. Mobile crisis unit dan rumah singgah untuk tunawisma
f. Program clubhouse memberi layanan transisi untuk meningkatkan kehidupan komunitas yang mandiri
g. Penjara dan Rumah-rumah perawatan
3. Amerika dengan Disabilities Act (1990) membantu memastikan bahwa penderita cacat, termasuk penderita gangguan jiwa, dapat berpatisipasi penuh dalam kegiatan ekonomi dan social masyarakat.
4. Pertumbuhan pergerakan konsumen
a. Organisasi-organisasi seperti the National Alliance of Mentally III, menghapus stigma gangguan jiwa dan member dukungan komunitas setempat bagi penderita ganguan jiwa dan keluarganya.
b. Organisasi-organisasi melakukan lobi untuk meningkatkan dana penelitian dan pengobatan gangguan jiwa.
5. Pengetahuan tentang struktur dan fungsi otak
a. Tahun 1990-an dianggap sebagai “Dekade Otak” karena pertumbuhan pesat pengetahuan tentang cara kerja otak.
b. Seiring dengan kemajuan genetika, pengetahuan yang dihasilhan telah membentuk kembali pemahaman tentang penyebab dan pengobatan gangguan jiwa.


SEJARAH KEPERAWATAN PSIKIATRIK

A. Tokoh Utama
1. Florence Nightingale (1859) adalah pendiri keperawatan modern dan penulis teks keperawatan pertama, Notes on Nursing.
2. Harriet Baily (1920) menulis buku ajar keperawatan psikiatrik dalam yang pertama, Nursing in Mental Diseases.
3. Hildegarde Peplau (1952) menulis Interpersonal Relations in Nursing,sebuah buku penting yang menjelaskan tentangkerangka kerja praktik keperawatan psikiatrik. Penekanannya pada hubungan perawat-pasien dan konstruksi teoritis untuk menjelaskan masalah pasien menjadi dasar dalam praktik keperawatan psikiatrik.
B. Organisasi-organisasi keperawatan yang memimpin pengembangan keperawatan psikiatrik
1. National League for Nursing (NLN), 1937. NLN merekomendasikandimasukkannya kesehatan jiwa dan keperawatan psikiatrik dalam kurikulum sekolah keperawatan.
2. American Nurses Association (ANA), 1958.
a. ANA membentuk Conference Group on Psychiatric Nursing. Kelompok ini bekerja untuk mendefinisikan praktik keperawatan kesehatan jiwa-psikiatrik.
b. Di 1973, ANA merupakan organisasi pertama yang mempublikasikan standar praktik kesehatan jiwa dan keperawatan pskiatrik; sedangkan standar yang telah direvisi dipublikasikan pada 1982 dan 1994.


SEJARAH PERKEMBANGAN DAN UPAYA KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

1. Dulu kala gangguan jiwa dianggap kerasukan
Terapi : mengeluarkan roh jahat
2. Zaman Kolonial sebelum ada RSJ di Indonesia, pasien gangguan jiwa ditampung di RS Sipil atau RS Militer di Jakarta, Semarang, dan Surabaya, yang ditampung pada umumnya penderita gangguan jiwa berat.
3. 1 Juli :
- 1882 : RSJ pertama di Indonesia (Bogor)
- 1902 : RSJ Lawang
- 1923 : RSJ Magelang
- 1927 : RSJ Sabang diRS ini jauh dari perkotaanPerawat pasien bersifat isolasi & penjagaan (custodial care).
Stigma : keluarga menjauhkan diri dari pasien
4.Dewasa ini hanya satu jenis RSJ yaitu RSJ punya pemerintah
5.Sejak tahun 1910 - mulai dicoba hindari costodial care ( penjagaan ketat) & restraints (pengikatan )
6.Mulai tahun 1930 - dimulai terapi kerja seperti menggarap lahan pertanian bagi para penderita gangguan jiwa
7.Selama Perang Dunia II & pendudukan Jepang - Upaya kesehatan jiwa tak berkembang
8.Proklamasi - Perkembangan baruPada bulan Oktober 1947 pemerintah membentuk Jawatan Urusan Penyakit Jiwa ( belum bekerja dengan baik).
Tahun 1950 pemerintah memperingatkan Jawatan Urusan Penyakit Jiwa untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan
9.Tahun 1966- PUPJ Direktorat Kesehatan Jiwa-UU Kesehatan Jiwa No.3 thn 1966 ditetapkan oleh pemerintah- Adanya Badan Koordinasi Rehabilitasi Penderita Penyakit Jiwa ( BKR-PPJ) dengan instansi diluar bidang kesehatan
10.Tahun 1973 - PPDGJ I yang diterbitkan tahun 1975 ada integrasi dengan PUSKESMAS
11.Sejak tahun 1970 an : pihak swasta pun mulai memikirkan masalah kesehatan jiwa
12.Ilmu kedokteran jiwa berkembang- Adanya sub spesialisasi seperti kedokteran jiwa masyarakat, Psikiatri Klinik, Kedokteran Jiwa Usila dan Kedokteran Jiwa Kehakiman- Setiap Sub Direktorat dipimpin oleh 4 kepala seksiProgram kesehatan jiwa nasional dibagi dalam 3 sub program yang diputuskan pada masyarakat dengan prioritas pada Health Promotion
1. Sub Program Perbaikan Pelayanan :
-Fokus Psychiatric
– Medical
– Care
-Penekanan pada curative service (treatment) dan rehabilitasi
2. Sub Program Pengembangan Sistem, berfokus pada peningkatan IPTEK, continuing education, research administrasi dan manajemen, mental health information3. Sub Program untuk Establishment Community Mental Health :
- Diseminasi ilmu
-Fasilitasi RSJ swasta
-Perizinan
-Stimulasi konstruksi RSJ swasta
-Kerja sama dengan luar negeri : ASEAN, ASOD, COD, WHO, AUSAID, etc.


MODEL
KEPERAWATAN DASAR :
1.RentangSehat - sakitAdaptif - Maladaptif
2.Nursing Model
- Peplau Interpersonal ModelNursing :
A significant, therapeutic and interpersonal processEssence of nursing : relationship between nurse & clientNurse harus memahami diri dan dapat berinteraksi dengan klien
3.Teori Orem :Self care adalah tingkah laku yg dipelajari dan disegaja yg ditampilkan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Kemampuan seseorang memenuhi kebutuhannya tergantung pada situasi dan kondisinya


FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN JIWA
1.Genetika (Cloninger, 1989)
2.Neurobiological
-Terjadi pembesaran ventrikel III pada posisi sebelah kiri lobus frontal klien skizofrenia daripada orang normal (Andreasen, 1991)- Wernicle dan Brocas aphasia disorganisasi pada waktu bicara- Hiperaktifitas dopamine3.Neurobehavioral- Kerusakan lobus frontal
- Kesulitan dalam proses pemecahan masalah, berpikir abstrak, gangguan psikomotorik- Kerusakan pada basal ganglia
- Distonia tremor
- Gangguan pada lobus temporal limbic
- Meningkatnya kewaspadaan, distractbility, gangguan memory ( Short Term Memory)4.Stress psikososial dan perkembangan - gejala psikotik, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, isolasi sosial, dan kehilangan.
5.Penyalagunaan : Coping yang maladaptive dari obat- obatan6.Psikodinamika. Freud : gangguan hubungan pada masa anak


PERAN DAN FUNGSI PSYCHIATRIC NURSE
1.Psychiatric nursing dianggap sebuah profesi sejak akhir abad ke-19 dan sejak awal abad ke 20 profesi tersebut muncul sebagai spesialisasi dengan peran dan fungsinya yang unik.
2.Praktek psyhiatric nursing kontemporer- Psyhiatrist psychologist social workes dan marriage dan family therapist
- Psyhaitric nursing is an interpersonal process that promotes and maintaining patient behavior that contributes to integrated fungtional (Stuart dan Sundeen, 1998)Klien dari psyhiatric nurse : individual, keluarga, kelompok dan masyarakatPraktek keperawatan jiwa pada akhir-akhir ini mengacu pada sejumlah premise atau kepercayaan sebagai berikut :
- Phylosophical belief of Nursing Practice
- Menggunakan pengetahuan dari blophysical, psychosocial. Science teory personality dan human behavior
- Pemilihaan dari model
-model konseptualEra globalisasi
- praktek harus dapat dipertanggungjawabkan karena nurse-patient relationship berubah menjadi nurse-patient partnership yang mengembangkan peran dari perawat jiwa profesional yang elemennya terdiri dari :
-Kompetensi klien dan keluarga-Advocacy klien dan keluarga-Physical responsibility-Kolaborasi dgn profesi lain-Social accountability-Legal ethical parameterPeran perawat tidak lagi hanya berfokus pada bedside care : Perawat jiwa harus lebih sensitif pada lingkungan sosial dan advocacy terhadap kebutuhan klien dan keluargaPengembangan praktek, pendidikan, dan riset.
3.Tingkat Pencegahan
- Primer : Insiden gangguan jiwa, health promotion, illness prevention dan penyuluhan
- Sekunder : Illness by eart detection dan treatment of the problem. Skreening, home visit, and crisis intervention
- Tertier :
-Residual impairment or disability, promote vocational, dan rehabilitation.-Organisation after care programeProviding partial hospitalization4.Rentang Perawatan (continuum of care )5.Tingkat penampilan tergantung pada 4 faktor, yaitu :
-Hukum / peraturan yang ada pada negara tersebut tentang peran dan fungsi psychiatric nurse-KualifikasiRN ( Psychiatric mental health registered nurse)
-Psychiatric mental health advance practise registered nurse
-Setting praktek : purpose type dan location administrasi di pemerintahan, di swasta dan personal inisiatifPraktik Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik Saat Ini
Pada 1994, the Coalition of Psychiatric Nursing Organizations dan ANA bersama-sama menerbitkan deskripsi dua tingkat praktik, yaitu praktik umum dan spesialis.

A. Perawat Generalis Kesehatan Jiwa-Psikiatrik
1. Pendidikan yang dibutuhkan adalah sarjana keperawatan.
2. Sertifikasi adalah proses formal yang diatur oleh the American Nurses Credentialing Center (ANCC) yang memvalidasi kompetensi klinis. Gelar yang didapat setelah sertifikasi ini adalah RN,C.
3. Fungsi
a. Perawat generalis bekerja dengan individu, keluarga, kelompok dan komunitas untuk mengkaji kebutuhan kesehatan jiwa, mengembangkan diagnosis, merencanakan, dan mengimplementasikan serta mengevaluasi asuhan keperawatan.
b. Perawat generalis kesehatan jiwa psikiatrik menggunakan intervensi-intervensi yang mencakup peningkatan dan pemeliharaan kesehatan; skrining dan evaluasi masukan; manajemen kasus; penyediaan lingkungan yang terapeutik(mis., terapi milieu); penyuluhan klien dan membantu mereka dalam aktivitas perawatan diri; pemberian dan pemantauan program pengobatan psikobiologik; intervensi, krisis dan koseling; serta aktivitas program outreach di rumah dan di komunitas.
4. Lingkungan praktik.
Perawat generalis berpraktik di rumah sakit tradisional, lembaga kesehatan di rumah, program asistensi karyawan, klinik kesehatan jiwa, HMO, pusat perawatan primer, klinik tunawisma, lembaga untuk lansia, unit gawat darurat, pusat day-care, sekolah, dan penjara.

B. Perawat Spesialis Kesehatan Jiwa-psikiatrik
1. Pendidikan yang diperlukan adalah master keperawatan kesehatan jiwa-psikiatrik.
a. Praktisi perawat psikiatrik.
Spesialis ini adalah praktik lanjutan dari RN (APN atau APRN) yang memberikan asuhan primer. Setiap Negara memiliki undang-undang praktik keperawatan tersendiri yang mengatur lingkup praktik, termasuk wewenang memberikan resep.
b. Spesialis perawat klinis (clinical nurse specialist [CNS]). Merupakan perawat RN bergelar master yang memberikan asuhan langsung sebagai ahli terapi atau asuhan tidak langsung sebagai konsultan, pendidik atau peneliti.
2. Sertifikasi
Merupakan proses formal memvalidasi kompetensi klinis yang dilakukan oleh ANCC. Perawat kesehatan jiwa dengan praktik lanjutan juga dapat disertifikasi sebagai spesialis klinis. Gelarnya adalah RN, CS, dan ini berlaku baik terhadap praktisi perawat psikiatrik maupun perawat spesialis klinis.
3. Fungsi
a. Melaksanakan semua fungsi perawat generalis.
b. Memberikan asuhan kesehatan jiwa primer, termasuk memberikan resep obat psikoaktif tes diagnostic yang tepat sesuai peraturan.
c. Menganalisis kebutuhan kesehatan individu dan populasi serta merancang program yang targetnya adalah kelompok beresiko serta factor-faktor budaya dan lingkungan yang meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit jiwa.
4. Lingkungan praktik.
Perawat spesialis dapat berpraktik di tempat-tempat yang sudah dikemukakan di atas untuk perawat generalis baik yang berpraktik tunggal maupun kelompok, mengadakan kontrak dengan program asistensi karyawan, HMO, organisasi penyedia jasa terpilih dan lingkungan lain dimana mereka dapat memberikan pelayanan.

DAFTAR PUSTAKA

Isaacs, Ann. 2004. Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Sulistiawati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.